Dalam budaya Jawa, tingkeban menjadi salah satu tradisi populer. Biasanya tradisi berlangsung saat pasutri akan menerima momongan yang pertama. Oleh karena itu, tidak heran jika mitos tingkeban dalam budaya Jawa sering menarik perhatian banyak orang.
Selain itu, tradisi ini dilakukan saat kehamilan menginjak usia 7 bulan. Namun beberapa daerah ada yang menggelar acara tingkeban saat usia kehamilan menginjak usia 5-6 bulan. Hal ini tergantung tradisi dan budaya daerah masing-masing.
Saat tingkeban, biasanya ibu hamil akan mandi dengan air kembang. Kemudian, terdapat sesepuh yang akan membacakan doa. Hal ini bertujuan agar proses persalinan berjalan lancar, serta bagi lahir dalam keadaan yang sehat tanpa kekurangan anggota tubuh satupun.
Mitos Tingkeban dalam Budaya Jawa
Dalam beberapa daerah, tingkeban menjadi salah satu tradisi yang wajib. Konon katanya, ibu hamil yang tidak melakukan tradisi tingkeban akan mengalami nasib buruk seperti bayi cacat atau bahkan proses persalinan yang cukup sulit. Sehingga tradisi ini masih cukup populer.
Meskipun demikian, beberapa daerah yang tidak menggelar tradisi ini juga tidak mengalami nasib buruk. Dengan begitu, mitos ini hanya popular di daerah tertentu. Namun, Kita harus menghormatinya karena setiap daerah memiliki cara tersendiri untuk melestarikan budayanya.
Sementara itu, pasutri yang menggelar acara tingkeban akan mengundang kerabat terdekat baik dari keluarga wanita ataupun pria. Selain itu, tradisi ini berlangsung di malam hari. Jika di daerah Jawa, waktu siraman berlangsung di halaman rumah atau depan rumah.
Daftar isi:
Rangkaian Tradisi Tingkeban di Jawa
Mitos tingkeban dalam budaya Jawa memang populer. Oleh karena itu, para anak muda harus mengetahui rangkataan tradisi ini agar keberadaannya tetap lestari. Mengigat, tradisi yang tidak dilestarikan akan hilang secara perlahan. Berikut, rangkaian acara tingkeban di Jawa yakni:
1. Siraman atau Mandi Kembang
Pada dasarnya, tingkeban bertujuan untuk membersihkan lahir dan batin ibu serta calon bayi. Selain itu, siraman dilakukan oleh tujuh orang bapak dan ibu. Kemudian anggota keluarga yang paling tua mengawali tradisi siraman. Tak hanya itu saja, siraman menggunakan bunga 7 rupa.
Sementara itu, air untuk siraman terdapat di gentong dari tanah liat. Kemudian, gayung untuk siraman terbuat dari batok kelapa. Peralatan untuk siraman memiliki makna tersendiri. Oleh karena itu, calon ibu atau calon ayah harus menyediakan peralatan siran dengan lengkap
2. Pantes-pantes atau Ganti Busana
Setelah prosesi siraman atau mandi kembang selesai, ibu hamil akan berganti pakaian sebanyak tujuh kali. Pakaian ini merupakan jarik dengan motif beragam. Setiap motif tentu memiliki harapan yang baik bagi ibu dan calon anak, sehingga jarik harus bermotif baik.
Selain itu, jarik untuk tradisi ini tidak harus baru. Namun, banyak pasutri yang memilih jarik baru sebagai bentuk antusiasme dalam menyambut anak. Terlebih, tingkeban merupakan tradisi untuk menyambut anak pertama.
3. Brojolan
Dalam ritual ini, terdapat 2 kelapa yang memiliki gambar Dewa Kamajaya dan Dewi Ratih. Kelapa ini biasanya akan di gelundingkan dari perut ibu hamil. Hal ini bertujuan agar proses persalinan berjalan lancar, serta bayi memiliki paras yang rupawan seperti kedua dewa tersebut.
Kelapa untuk tradisi ini biasanya berukuran besar, dan bewarna kuning. Namun, setiap daerah memiliki tradisi yang berbeda-beda. Sebelum prosesi tingkeban, biasanya sesepuh akan memberitahukan beberapa peralatan untuk prosesi siraman.
4. Anggreman
Setelah tradisi brojolan, biasanya calon ayah dan calon ibu akan duduk di atas tumpukan kain bekas siraman. Prosesi ini mirip dengan pengeraman telur, dengan harapan agar bayi dapat lahir dengan selamat. Oleh karena itu, prosesi ini sangatlah penting.
Dalan daerah tertentu, biasanya calon ayah dan ibu akan menggunakan make up seperti bedak. Namun, tidak semua daerah melaksanakan langkah ini. Ada daerah yang langsung melakukan tahap selanjutnya tanpa melakukan prosesi Anggreman.
5. Pemotongan Kelapa Gading
Mitos tingkeban dalam budaya Jawa yang selanjutnya berkaitan gender. Dalam tradisi ini, terdapat ritual pemotongan Kelapa Gading. Artinya, calon ayah nantinya akan memotong kelapa bergambar dewa. Apabila kelapa terbelah sempurna, jenis kelamin bayi adalah perempuan.
Jika kelapa tidak terbelah sempurna, maka jenis kelaminnya laki-laki. Mitos ini seringkali terjadi, sehingga masih banyak yang melakukan prosesi siraman. Namun, ada juga bayi yang diprediksi laki-laki namun yang keluar wanita. Untuk lebih jelasnya, pasutri bisa melakukan USG ke dokter.
Setalah rangkaian acara tersebut selesai, biasanya sesepuh akan menuntun para tamu dan pasutri untuk membaca doa. Hal ini bertujuan agar proses persalinan berjalan lancar serta ibu dan anak selamat. Mengigat persalinan merupakan momen yang menegangkan.
Itulah beberapa mitos tingkeban dalam budaya Jawa yang populer di kalangan masyarakat. Meksipun zaman sudah berkembang, namun masih banyak masyarakat yang melakukan tradisi ini. Terlebih, tingkeban memiliki tujuan dan harapan baik untuk ibu ataupun calon anak.