Bizzyantum – Meskipun ekonomi Indonesia telah tumbuh cukup tinggi, pertumbuhan sektor manufaktur masih tertinggal. Ini menjadi tantangan besar bagi pemerintahan Prabowo Subianto – Gibran Rakabuming Raka yang akan datang. Meski pertumbuhan mencapai 5,11%, yang merupakan yang tertinggi sejak kuartal II-2023, atau dalam tiga kuartal terakhir, pertumbuhan ekonomi Indonesia masih berada pada level historisnya, yaitu sekitar 5%.
Pada kuartal I-2024, industri pengolahan hanya tumbuh sebesar 4,13% (year-on-year), di bawah pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) nasional. Kontribusi industri pengolahan terhadap PDB mencapai 19,28%. Pertumbuhan ini masih di dorong terutama oleh industri makanan dan minuman selama bulan Ramadan dan Lebaran, serta industri logam dasar yang kuat.
Daftar isi:
Industri Pengolahan Masih Menjadi Tonggak PDB
Industri pengolahan tetap menjadi pilar utama pertumbuhan PDB Indonesia, menyumbang porsi terbesar sebesar 19,28% dari total PDB berdasarkan Harga Berlaku (ADHB). Pada kuartal I-2024, PDB ADHB mencapai Rp5.288,3 triliun, dengan industri pengolahan menyumbang sebesar Rp1.019,6 triliun. Angka ini mengalami peningkatan signifikan dari kuartal I-2023 yang hanya Rp941,6 triliun dan kuartal IV-2023 sejumlah Rp1.011,9 triliun.
Industri pengolahan merupakan kegiatan ekonomi yang mengubah barang dasar menjadi barang jadi atau setengah jadi, baik secara mekanis, kimia, maupun manual, sehingga nilainya meningkat dan cocok untuk pengguna akhir. Aktivitas ini mencakup jasa industri atau makloon serta pekerjaan perakitan.
Peningkatan kinerja industri pengolahan telah membawa Indonesia masuk ke dalam 10 besar negara penyumbang produk manufaktur global. Menjadi satu-satunya negara ASEAN yang meraih prestasi tersebut. Menurut beberapa sumber terpercaya, kontribusi Indonesia terhadap produk manufaktur global mencapai 1,4%. Menandai kenaikan signifikan dari posisi 16 yang di pegangnya empat tahun sebelumnya.
Prabowo Subianto Harus Memperhatikan Manufaktur RI Yang Terus Melambat
Meskipun industri manufaktur Indonesia terus berkembang, namun pertumbuhannya mengalami perlambatan yang signifikan. Kontribusi sektor manufaktur terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) pun semakin mengecil. Padahal, perkembangan industri manufaktur menjadi kunci utama bagi kemajuan suatu negara. Baik dalam peningkatan PDB per kapita maupun penyediaan lapangan kerja formal.
Data Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa beberapa sektor masih mengalami kontraksi pada kuartal pertama tahun 2024. Seperti sektor industri karet, alat angkutan, serta mesin dan perlengkapan. Bahkan, sektor-sektor yang memiliki kontribusi besar terhadap tenaga kerja juga mengalami pertumbuhan yang rendah. Seperti industri alas kaki, pakaian jadi, dan furnitur.
Selama masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi). Porsi industri pengolahan terhadap total PDB relatif lebih rendah di bandingkan dengan masa pemerintahan presiden sebelumnya. Data BPS dari tahun 2001 hingga 2004 menunjukkan bahwa pertumbuhan rata-rata manufaktur Indonesia mencapai 5,03% pada masa pemerintahan Megawati. Angka tersebut jauh di atas pertumbuhan selama satu dekade di era Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) dan Jokowi, masing-masing hanya mencapai 4,7% dan 3,6%. Kontribusi sektor manufaktur terhadap PDB terus menurun dari 26,05% pada masa pemerintahan SBY periode pertama menjadi 21,05% pada masa pemerintahan Jokowi periode kedua.
Sektor Manufaktur Memiliki Kontribusi Signifikan Terhadap PDB
Berdasarkan laporan Indonesia Economic Outlook Q1 2024 dari Universitas Indonesia (UI), sektor manufaktur memiliki kontribusi signifikan terhadap PDB pada masa pemerintahan Megawati sebesar 27,93%. Namun, angka ini mengalami penurunan menjadi 26,05% pada masa pemerintahan SBY periode pertama. Dan kembali menurun menjadi 22,42% pada masa pemerintahan SBY periode kedua. Trend penurunan ini juga terjadi pada masa pemerintahan Jokowi. Dengan kontribusi sektor manufaktur turun menjadi 22,02% pada periode pertama dan 21,15% pada periode kedua, tidak termasuk tahun 2020 dan 2021 akibat pandemi Covid-19.
Nilai tambah dari sektor manufaktur pada masa pemerintahan Jokowi juga tercatat sebagai yang terendah di bandingkan dengan masa pemerintahan Megawati dan SBY. Dengan menggunakan rasio output terhadap tenaga kerja sebagai indikator produktivitas, pemerintahan Jokowi belum menunjukkan kinerja yang memuaskan dalam aspek ini.
Selama periode 2000 hingga 2004, Presiden Megawati mampu memberikan nilai tambah produksi sebesar 43,94%. Namun, angka ini mengalami penurunan pada masa pemerintahan SBY (2004-2014) menjadi 41,64%. Dan terus menurun pada masa pemerintahan Jokowi (2014-2020) hanya mencapai 39,12%.
Secara keseluruhan, periode pertama pemerintahan Jokowi di tandai dengan peningkatan produktivitas tenaga kerja yang paling lambat di bandingkan dengan empat masa pemerintahan sebelumnya sejak tahun 2000, atau sekitar dua dekade terakhir.